EVALUASI PC IMM KOTA
SURABAYA; IMM SURABAYA
BUTUH KADER YANG
BERDAYA
Oleh : Amin Rais
(Ketua
Umum PK IMM Kaizen 2020-2021)
Berbicara tentang kader IMM, tidak akan pernah habis topik yang dibicangkan, terutama bahasan kualitas dan kuantitas kadernya. Pertanyaan mendasarnya, manakah yang lebih penting, kuantitas ataukah kualitas kader ? Manakah diantara keduanya yang harus dimiliki terlebih dahulu oleh organisasi mahasiswa ini ? Topik ini sudah lama diperbincangkan oleh kader-kader IMM dimanapun, baik itu ketika sedang dalam diskusi biasa maupun sharing pada kegiatan formal-non formal. Begitupun dengan kader IMM Kota Surabaya, cabang IMM terbesar sedunia akhirat dengan jumlah sebanyak 31 komisariat dan 4 koorkom. Hal ini membuat perbincangan mengenai kualitas-kuantitas kader sudah menjadi menu santapan diskusi sehari-hari. Bagaimanapun kader banyak harus seimbang dengan kemampuan yang layak.
Menurut
AS Hornby (dalam kamusnya Oxford Advanced
Learner’s Dictionary) dikatakan bahwa “Cadre
is a small group of people who are specially chosen and trained for a
particular purpose”, atau “Cadre is a member of this kind group; they were to
became the cadres of the new community party”. Jadi, pengertian kader
adalah “sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan
menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar. Sedangkan menurut kamus
bahasa Indonesia, kader adalah orang yang diharapkan memegang peranan penting
dalam suatu pemerintahan, partai dan sebagainya. Dari kedua pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa kader adalah orang yang akan menjadi tulang punggung
dalam suatu organisasi dan mampu untuk diberikan amanah sebagai pemimpin bagi
dirinya serta orang lain.
Lalu,
cara agar kader IMM mampu menjadi tulang punggung suatu organisasi dan
mengemban amanah sebagai pemimpin, maka kader itu haruslah beraktivitas di IMM
dan diluar IMM. Ketika beraktivitas di IMM, kader itu akan terbentuk dalam
organisasi, mengenal aturan-aturan dalam organisasi dan tidak bekerja sendiri
sesuai dengan selera pribadinya. Bagi IMM, aturan-aturan itu bila diteropong
dari segi nilai adalah nilai-nilai dasar ikatan dalam pemahaman memaknai
perjuangan; sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai ke-Islaman hingga
mampu mengemban misi keummatan, yaitu berpihak kepada kaum yang tertindas, Mustadh’afin,
dan mendakwahkan kebenaran di tengah masyarakat, serta menjadi teladan yang
baik. Sedangkan dari segi operasionalisasi organisasi, perlu kiranya kader IMM mengindahkan
AD/ART IMM, pedoman pokok organisasi dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Selanjutnya,
seorang kader juga harus memiliki komitmen
yang terus menerus, tidak mengenal semangat yang musiman, tapi utuh dan
istiqomah dalam mengimplementasikan ide dari sebuah nalar yang dibuktikan
dengan aksi nyata. Akan tetapi, kebanyakan dari kader masih kurang dikembangkan
ide dan potensinya sehingga terjadi ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan ini
menyebabkan organisasi hanya didominasi oleh orang yang sekedar ikut-ikutan
atau hura-hura yang minim inovasi. Hilang sudah harapan membangun kejayaan dari
organisasi. Harus ada gerakan terencana untuk memaksimalkan potensi kader agar
berdaya dalam mengentaskan permasalahan. Terencana dalam arti dipersiapkan
pelaku dan metodenya dengan baik lagi terukur.
Berdaya
adalah mampu mengidentifikasikan masalah dan paham cara mengatasi masalah
tersebut. Kader yang berdaya artinya kader yang mempunyai kemampuan menemukan
dan menyelesaikan masalahnya sendiri, termasuk masalah ekonomi, sosial,
politik, dan lingkungan juga berkemampuan dalam kompetensi yang dimiliki dan
sebagainya. Prinsip dari berdaya yaitu melakukan perubahan atas inisiatif diri
sendiri atau self help. Ada banyak
cara untuk mengembangkan kader yang berdaya, diantaranya adalah membangkitkan
semangat self help dalam organisasi
dan mempertahankan kader unggulnya. Self
help digunakan sebagai pendekatan untuk
melaksanakan program yang berkaitan dengan pengembangan kader yang berdaya.
Salah satu capaian kader yang berdaya adalah mengoptimalkan potensi yang
dimiliki oleh kader.
Mengoptimalkan
potensi memang terlalu utopis dan bukan hanya tugas Pimpinan Cabang, tugas
tersebut akan semakin berat ketika kader sebagai objek yang berada ditingkat
komisariat tidak terlibat aktif dalam mendukung program. Terlebih lagi, program
Pimpinan Cabang cenderung tidak sesuai dengan pemenuhan kebutuhan kader
sehingga muncul rasa tidak memiliki yang berakibat pada program yang tidak
berkelanjutan. Saat ini masih sering terjadi, Pimpinan Cabang belum
merubah orientasinya untuk bergerak atas kebutuhan kader di organisasi.
Semangat
self help dalam organisasi
dibangkitkan melalui konsep inovasi; dilakukan melalui sebuah program
pengembangan kader yang tepat sasaran. Tujuannya untuk mengembangkan kemandirian
dan kesejahteraan kader dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya. Ada dua model yang dapat digunakan
yaitu top down dan bottom up. Model top down adalah pengembangan yang terpusat, kebijakannya ditentukan
oleh Pimpinan Cabang. Kader dilibatkan sebagai objek program dan tidak terlibat
langsung dalam pengambilan kebijakan. Model ini cenderung tidak berkelanjutan
karena pasca pelaksanaan program tidak ada bentuk kelanjutan misalnya dengan
bentuk penugasan ataupun dengan pengarahan sehingga kader tidak punya rasa
memiliki. Model bottom up adalah pengembangan inisiatif kader karena ditempatkan
sebagai subjek program.
Tidak
ada yang lebih baik dari keduanya karena masing-masing punya kelebihan dan
kekurangan sendiri. Program yang baik harus melibatkan dua model ini, model bottom up untuk menjaga keberlanjutan
program dan model top down untuk
dukungan Pimpinan Cabang. Kolaborasi model top
down dan bottom up dalam
pengembangan kader yang berdaya tentu akan menghasilkan efektivitas dalam
menaikkan sebuah gerakan.
Dalam
konteks ini, perlu kiranya untuk memberdayakan kader unggul dalam rangka
merealisasikan ide dan inovasi gerakan sebagai upaya pengembangan kader yang
berdaya. Sangat disayangkan jika Pimpinan Cabang tidak memanfaatkan nalar
intelektualnya untuk perkara ini. Parahnya, siklus seperti ini akan terus
berputar hingga circle di organisasi
hanya tinggal kader yang sekedar hanya ikut-ikutan atau hura-hura yang minim inovasi.
Tidak
masalah jika tidak menggunakan model top
down, akan tetapi kontribusi melalui pemikirannya sebagai konseptor
pemberdaya kader dapat disalurkan melalui local
leader yang mumpuni di Pimpinan Komisariat. Pemikiran ini nantinya menjadi
sebuah inovasi yang berkontribusi terhadap pemberdayaan kader. Oleh sebab
itu, sebelum kader-kader akan melanjutkan kepemimpinannya di tingkat Pimpinan
Cabang harus ditumbuhkan rasa empatinya. Empati untuk merasa bertanggung jawab
atas pengembangan kader di organisasi. Instruktur dirasa penting untuk ambil
bagian dalam perkara ini. Kader tidak hanya dikembangkan ideologinya, tetapi
juga karakternya.