Sabtu, 11 April 2020

MENGGUGAT INSTRUKTUR : SI PENANGGUNG JAWAB PERKADERAN

2 komentar



MENGGUGAT INSTRUKTUR : SI PENANGGUNG JAWAB PERKADERAN
oleh : Amir R 
(Ketua Korps Instruktur IMM kota Surabaya)

Sebenarnya tulisan ini diilhami dari buku “sukma intelektualisme” karya immawan bayujati prakoso, yang mana didalam bukunya ada sub bab menurut penulis cukup menarik dan memiliki benang merah akan keadaan instruktur. Sub bab tersebut berjudul “menggugat kader IMM: anak muhammadiyah yang disayang”. Dari judul tersebut dan juga dari isi yang disampaikan didalamnya mirip dengan keadaan instruktur. Jadi penulis mencoba menafsirkan, atau lebih tepatnya mengganti instruktur menjadi objek dari problem yang diangkat.
Tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan, mendiskreditkan atau mengkerdilkan peran instruktur selama ini. namun penulis bermaksud untuk menjadikan bahan refleksi bersama tentang tanggung jawab instruktur didalam perkaderan. Dalam bukunya, Immawan bayu menyebutkan 3 hal yang bisa dijadikan bahan renungan bersama yaitu pertama pergerakan, kedua anti-kritik, ketiga minim refleksi dan kontribusi.
Pertama, pergerakan. IMM adalah organisasi perkaderan juga termasuk organisasi pergerakan artinya disetiap pergerakan  yang dilakukan IMM harus menciptakan sebuah perkaderan. Instruktur harus memiliki program perkaderan yang memiliki esensi dari sebuah gerakan. Instruktur harus mampu menghasilkan kader-kader yang tidak hanya paham teoritis tentang ideologi IMM melainkan juga mampu mewujudkan ideologi tersebut menjadi sebuah gerakan praksis bagi IMM. Keberhasilan instruktur jangan hanya dilihat mereka (red:kader) sudah hafal diluar kepala soal ideologi , namun lihatlah seberapa bermanfaat kader untuk masyarakat luas.  Maka paradigma yang menjadi landasan dalam mengkader seorang instruktur harus memiliki value untuk masyarakat luas.
Kedua, anti-kritik. Seolah rezim pada masa orde baru yang memegang kekuasan organisasi. Fenomena anti-kritik ini menolak setiap masukan, opini, tanggapan seseorang baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga menyebabkan perkaderan terasa ekslusif karena cenderung menutup diri dan mempertahankan gaya lama. Instruktur harus memiliki sifat open minded supaya bisa menerima hal-hal yang baru dan ide-ide segar dari orang lain baik dari instruktur maupun non instruktur. Yang terpenting saran/usul yang diberikan tersebut tetap mengindahkan kaidah organisasi dan memiliki tujuan dalam menunjang keberhasilan dalam perkaderan.
ketiga, minim refleksi & kontribusi. Semangat berfastabiqul khoirot dan menjadikan tanggung jawab perkaderan harus dipahami pada diri setiap instruktur. Bahwa keikutsertakan LID (sebuah pelatihan untuk menjadi instruktur) bukan sebatas berangkat LID melainkan harus diartikan dan diniatkan untuk menjadi seorang instruktur.  Sehingga sepulang dari LID mereka tidak hanya menjadi alumni LID saja, melainkan telah mendapatkan predikat instruktur. Sebuah predikat yang luhur yang belum tentu setiap kader bisa mendapatkannya. Maka dari itu, sepulangnya dari LID harus mampu menciptakan dampak positif bagi perkaderan. Jangan sampai tidak melakukan apapun, malah sibuk dengan dirinya sendirinya dan melupakan kewajibannya sebagai seorang instruktur. Jangan sampai keberadaan instruktur menjadi buah bibir dalam IMM, minim kontribusi dan hanya mengagungkan simbol instruktur dalam dirinya secara berlebihan.
Maka dari ketiga renungan diatas,  mari jadikan bahan refleksi bersama. Mari kita ciptakan perkaderan yang memiliki output pergerakan, tidak terjerumus pada sifat anti-kritik serta minim refleksi & kontribusi terhadap ikatan. Berangkat dari refleksi ini, semoga para instruktur dapat meneguhkan kembali tanggung jawabnya dan mengantarkan lebih dekat pada tujuan perkaderan ikatan.


Referensi : Dikutip dari buku "Sukma Intelektualisme" karya Bayujati Parakoso

2 komentar:

Redaksi IMM UINSA mengatakan...

Taqlid pada alumni

Unknown mengatakan...

Memang ketiga poin itu menjadi momok besar untuk para instruktur begitupun yg saya rasakan sekarang

Posting Komentar