MENGGUGAT INSTRUKTUR : SI PENANGGUNG JAWAB PERKADERAN
oleh : Amir R
(Ketua Korps Instruktur IMM kota Surabaya)
Sebenarnya tulisan ini diilhami dari buku “sukma intelektualisme”
karya immawan bayujati prakoso, yang mana didalam bukunya ada sub bab menurut
penulis cukup menarik dan memiliki benang merah akan keadaan instruktur. Sub bab
tersebut berjudul “menggugat kader IMM: anak muhammadiyah yang disayang”. Dari judul
tersebut dan juga dari isi yang disampaikan didalamnya mirip dengan keadaan
instruktur. Jadi penulis mencoba menafsirkan, atau lebih tepatnya mengganti instruktur
menjadi objek dari problem yang diangkat.
Tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan, mendiskreditkan atau
mengkerdilkan peran instruktur selama ini. namun penulis bermaksud untuk menjadikan
bahan refleksi bersama tentang tanggung jawab instruktur didalam
perkaderan. Dalam bukunya, Immawan bayu menyebutkan 3 hal yang bisa dijadikan bahan
renungan bersama yaitu pertama pergerakan, kedua anti-kritik, ketiga minim
refleksi dan kontribusi.
Pertama, pergerakan. IMM adalah organisasi
perkaderan juga termasuk organisasi pergerakan artinya disetiap pergerakan yang dilakukan IMM harus menciptakan sebuah
perkaderan. Instruktur harus memiliki program perkaderan yang memiliki esensi
dari sebuah gerakan. Instruktur harus mampu menghasilkan kader-kader yang tidak
hanya paham teoritis tentang ideologi IMM melainkan juga mampu mewujudkan
ideologi tersebut menjadi sebuah gerakan praksis bagi IMM. Keberhasilan instruktur
jangan hanya dilihat mereka (red:kader) sudah hafal diluar kepala soal ideologi , namun
lihatlah seberapa bermanfaat kader untuk masyarakat luas. Maka paradigma yang menjadi landasan dalam
mengkader seorang instruktur harus memiliki value untuk
masyarakat luas.
Kedua, anti-kritik. Seolah rezim pada masa
orde baru yang memegang kekuasan organisasi. Fenomena anti-kritik ini menolak
setiap masukan, opini, tanggapan seseorang baik langsung maupun tidak langsung.
Sehingga menyebabkan perkaderan terasa ekslusif karena cenderung menutup diri
dan mempertahankan gaya lama. Instruktur harus memiliki sifat open minded
supaya bisa menerima hal-hal yang baru dan ide-ide segar dari orang lain baik
dari instruktur maupun non instruktur. Yang terpenting saran/usul yang
diberikan tersebut tetap mengindahkan kaidah organisasi dan memiliki tujuan dalam
menunjang keberhasilan dalam perkaderan.
ketiga, minim refleksi & kontribusi. Semangat
berfastabiqul khoirot dan menjadikan tanggung jawab perkaderan harus dipahami pada
diri setiap instruktur. Bahwa keikutsertakan LID (sebuah pelatihan untuk menjadi instruktur) bukan sebatas berangkat LID
melainkan harus diartikan dan diniatkan untuk menjadi seorang instruktur. Sehingga sepulang dari LID mereka tidak hanya
menjadi alumni LID saja, melainkan telah mendapatkan predikat instruktur. Sebuah
predikat yang luhur yang belum tentu setiap kader bisa mendapatkannya. Maka dari itu,
sepulangnya dari LID harus mampu menciptakan dampak positif bagi perkaderan. Jangan sampai
tidak melakukan apapun, malah sibuk dengan dirinya sendirinya dan melupakan
kewajibannya sebagai seorang instruktur. Jangan sampai keberadaan instruktur
menjadi buah bibir dalam IMM, minim kontribusi dan hanya mengagungkan simbol
instruktur dalam dirinya secara berlebihan.
Maka dari ketiga renungan diatas,
mari jadikan bahan refleksi bersama. Mari kita ciptakan perkaderan yang
memiliki output pergerakan, tidak terjerumus pada sifat anti-kritik serta minim
refleksi & kontribusi terhadap ikatan. Berangkat dari refleksi ini, semoga
para instruktur dapat meneguhkan kembali tanggung jawabnya dan mengantarkan
lebih dekat pada tujuan perkaderan ikatan.
Referensi : Dikutip dari buku "Sukma Intelektualisme" karya Bayujati Parakoso
2 komentar:
Taqlid pada alumni
Memang ketiga poin itu menjadi momok besar untuk para instruktur begitupun yg saya rasakan sekarang
Posting Komentar